Kamis, 13 Oktober 2016

58-nasi box jogja

Apakah anda sedang mencari jasa catering nasi kotak? disinilah informasinya yang lengkap:
Nasi Kotak Jogja | Nasi Box Jogja

2- Nasi Kotak Jogja

Sabtu, 10 Januari 2015

Wahabi Sang Pahlawan Kesiangan

wahabi sang pahlawan kesiangan
WAHABI: “Saya mengerti, kalian membela orang yang kendurenan kematian (selamatan Tahlilan), tujuannya agar dapat makan gratis selama tujuh hari?”
SUNNI: “Ya itu prasangka kamu yang tidak baik kepada umat Islam. Anda harus tahu, bahwa sedekah dengan memberi makan orang lain itu bagian penting dalam ajaran Islam. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan:
عن عبد الله بن سلام قال : لما قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينة انجفل الناس إليه و قيل قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم فجئت في الناس لأنظر إليه فلما استبنت وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم عرفت أن وجهه ليس بوجه كذاب فكان أول شيء تكلم به أن قال : يا أيها الناس أفشوا السلام و أطعموا الطعام و صلوا الأرحام و صلوا بالليل و الناس نيام تدخلون الجنة بسلام. (رواه أحمد والترمذي وابن ماجه قال الترمذي هذا حديث صحيح وصححه الحاكم في المستدرك)
“Abdullah bin Salam berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke kota Madinah, orang-orang segera berdatangan kepada beliau. Mereka berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang.” Lalu aku datang bersama orang-orang untuk melihatnya. Setelah aku amati wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku tahu wajah beliau bukan wajah seorang pendusta. Lalu pertama kali perkataan yang beliau sabdakan adalah: “Wahai manusia, tebarkan salam, berikan makanan, sambung ikatan kekerabatan, laksanakan shalat ketika orang-orang sedang tidur, maka kalian akan masuk surge dengan selamat.” (HR. Ahmad juz 5 hlm 451, al-Tirmidzi [1855], Ibnu Majah [3251], al-Darimi, al-Hakim [7277] dan lain-lain).
Coba perhatikan, dalam hadits di atas, memberi makan termasuk penyebab seseorang masuk surga. Kaum Muslimin yang memberi makan untuk keluarganya yang meninggal, bertujuan agar ia masuk surga. Tapi Anda melarang melakukannya.
Dalam hadits lain, juga diriwayatkan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الإِسْلامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ. رواه البخاري
“Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Perbuatan apa yang paling baik dalam Islam?” Beliau menjawab: “Kamu memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan orang yang tidak kamu kenal.” (HR. al-Bukhari, [12]).
Perhatikan, dalam hadits di atas, jelas sekali, bahwa memberi makan merupakan tradisi Islami yang paling baik. Bahkan memberi makan termasuk tanda-tanda ibadahnya seseorang diterima oleh Allah. Dalam hadits diriwayatkan:
عن جابر بن عبد الله قال : سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم ما بر الحج قال إطعام الطعام وطيب الكلام أخرجه عبد بن حميد ، وابن خزيمة ، والحاكم وقال: صحيح الإسناد . وأبو نعيم فى الحلية الطيالسى
“Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya: “Apakah tanda-tanda haji mabrur?” Beliau menjawab: “Memberi makan dan kata-kata yang baik.” (HR. Abd bin Humaid [1091], Ibnu Khuzaimah (Ithaf al-Maharah [3714]), al-Hakim [1778], Abu Nu’aim (Hilyah, 3/156) dan al-Thayalisi [1718]. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim).
Dalam hadits di atas, jelas sekali, bahwa memberi makan dan berkata baik merupakan tanda amal ibadah seseorang diterima oleh Allah. Berarti orang yang pelit, dan sering berkata tidak baik, pertanda amal ibadahnya tidak diterima.
Hadits-hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang banyak sekali dalam kitab-kitab hadits, memberikan pesan bahwa memberi makan itu merupakan tradisi Islami yang sangat baik. Kalau saya bertanya kepada Anda, secara umum siapa yang lebih sering melakukan tradisi memberi makan, antara umat Islam yang suka Yasinan, Maulidan danTahlilan dengan mereka yang tidak suka melakukan hal tersebut? Maaf, pertanyaan ini tidak perlu dijawab.
WAHABI: “Maaf, dengan tradisi kendurenan tersebut, dalam kenyataan yang ada banyak juga mereka memaksakan diri bersedekah untuk acara Tahlilan.”
SUNNI: “Bersedekah itu hukumnya sunnah. Meskipun dalam kondisi kita tidak mampu. Namanya saja ingin masuk surga dan mendapat pahala. Kadang memang harus memaksakan diri. Asalkan hati ini ikhlas. Al-Imam al-Bukhari radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam shahihnya:
وَقَالَ عَمَّارٌ ثَلاَثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ اْلإِيمَانَ اْلإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ وَبَذْلُ السَّلامِ لِلْعَالَمِ وَاْلإِنْفَاقُ مِنْ اْلإِقْتَارِ
“Ammar berkata: “Tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, maka telah menyempurnakan imannya. Yaitu menyadari kewajiban dirinya, mengucapkan salam kepada siapa pun dan bersedekah dalam keadaan fakir.” (HR. al-Bukhari).
Dalam atsar di atas, jelas sekali, bahwa bersedekah ketika diri ini tidak mampu, termasuk tanda kesempurnaan iman kepada Allah.
WAHABI: “Tapi kan banyak juga di antara kaum dhuafa (lemah ekonomi), untuk acara Tahlilan atau kendurenan, harus berhutang kepada tetangga. Ini kan tidak baik juga.”
SUNNI: “Maaf, Anda maunya membela warga Muslim yang tidak mampu, lalu dililit hutang gara-gara selamatan kematian. Saya kira pembelaan Anda bukan pada tempatnya. Mereka tidak mau dibela dengan cara Anda. Mereka berhutang untuk mendoakan dan mengirimkan pahala sedekahnya kepada keluarga yang meninggal dan mereka melakukannya dengan ikhlas. Jadi maaf, pembelaan Anda tidak pada tempatnya.
Lagi pula, tidak semua selamatan Tahlilan menyebabkan seseorang punya hutang. Sebagian juga sebaliknya. Ada yang asalnya tidak punya apa-apa, tapi berhubung ada keluarganya meninggal dunia, lalu ia mendapat santunan dari tetangga dan akhirnya mampu membayar hutang dan ekonominya meningkat lebih baik.”
WAHABI: “Tapi hutang itu tidak baik.”
SUNNI: “Siapa bilang hutang itu tidak baik? Secara hukum hutang itu hukumnya mubah atau boleh, asalkan ada asumsi akan mampu melunasi. Para ulama mengatakan bahwa hutang itu hukumnya boleh, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri beberapa kali berhutang:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ فَأَغْلَظَ لَهُ ، فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ ، فَقَالَ : دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالاً. فَقَالَ لَهُمْ : اشْتَرُوا لَهُ سِنًّا فَأَعْطَوْهُ إيَّاهُ .فَقَالُوا : إنَّا لا نَجِدُ إلا سِنًّا هُوَ خَيْرٌ مِنْ سِنِّهِ ، قَالَ : فَاشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إيَّاهُ ، فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ أَوْ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً. رواه البخاري ومسلم
“Dari Abu Hurairah: Seorang laki-laki punya piutang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu laki-laki itu berkata kasar kepada beliau. Maka para sahabat bermaksud menegurnya. Lalu beliau bersabda: “Biarkan orang ini, karena orang yang punya piutang berhak mengeluarkan kata-katanya.” Lalu beliau bersabda kepada mereka: “Belikan unta seumuran untanya yang saya hutang, lalu kasihkan kepadanya.” Mereka menjawab: “Kami tidak menemukan kecuali unta yang lebih baik dari pada unta seumuran miliknya.” Beliau bersabda: “Belikan unta itu, lalu serahkan kepadanya, kaena sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam melunasi hutang.” (HR. al-Bukhari [2606], dan Muslim [1601]).
عَنْ أَبِي رَافِعٍ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْرًا ، فَقَدِمَتْ عَلَيْهِ إبِلٌ مِنْ الصَّدَقَةِ ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يُعْطِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ ، فَرَجَعَ إلَيْهِ أَبُو رَافِعٍ فَقَالَ : لَمْ أَجِدْ فِيهَا إلا خِيَارًا رُبَاعِيًّا فَأَمَرَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ. رواه مسلم
“Dari Abu Rafi’, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhutang unta kepada seorang laki-laki. Lalu datanglah unta-unta sedekah kepada beliau. Maka beliau menyuruh Abu Rafi’ agar memberikan unta seperti yang beliau hutang kepada laki-laki itu. Lalu Abu Rafi’ kembali dan berkata: “Aku tidak menemukan di antara unta-unta itu kecuali unta yang baik-baik seumuran 8 tahun.” Maka beliau menyuruhnya memberi unta tersebut.” (HR. Muslim [1601]).
Dalam kitab Zad al-Ma’ad, Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah, banyak mengupas kisah-kisah hutang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
WAHABI: “Tapi kendurenan tujuh hari kematian itu hukumnya makruh kan?”
SUNNI: “Ini masalah khilafiyah di kalangan ulama.
Menurut madzhab Syafi’i makruh apabila makanan murni dari keluarga duka cita, tapi tetap dapat pahala. Apabila makanan tersebut hasil sumbangan dari tetangga atau orang lain, maka hukumnya tidak makruh.
Sementara menurut madzhab Maliki, apabila hal ini telah menjadi tradisi, hukumnya tidak makruh.
Banyak juga ulama salaf, seperti Khalifah Umar bin Khaththab, Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, dan ulama-ulama lain yang dijelaskan dalam atsar Imam Thawus, justru menganjurkan dan tidak memakruhkan.
Bahkan Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Mufti Saudi Arabia, dalam beberapa fatwanya membolehkan hidangan makanan untuk tamu, meskipun dari keluarga duka cita. Beliau juga membolehkan undangan jamuan kematian, apabila makanan tersebut hasil dari sumbangan dan melebihi dari kebutuhan.
Jadi masalah ini sebenarnya ringan sekali, cuma kelompok Anda sangat berlebih-lebihan dalam menyikapi.

Dalil Do’a Bersama dan Ucapan Amiin Setelah Pengajian

doa bersama dan ucapan amiin setelah pengajian
WAHABI: “Mengapa sih kalian dalam setiap acara pertemuan mengakhiri acara dengan doa bersama yang dipimpin oleh Ustadz atau Kiai?.”

SUNNI: “Kami mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut ini:
عن نافع قال كان ابن عمر إذا جلس مجلسا لم يقم حتى يدعو لجلسائه بهذه الكلمات وقَالَ : قَلَّمَا كَانَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يَقُومُ مِنْ مَجْلِسٍ حَتَّى يَدْعُوَ بِهؤلاء الدَّعَواتِ : (( اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا ، اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بأسْمَاعِنا ، وَأَبْصَارِنَا ، وقُوَّتِنَا مَا أحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الوارثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلاَ تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا )) رواه الترمذي والنسائي، وقال الترمذي: (( حديث حسن )) .
“Nafi’ berkata: “Setiap Ibnu Umar duduk dalam satu majlis, ia tidak berdiri sebelum berdoa bagi mereka yang duduk bersama beliau dengan kalimat-kalimat ini, dan beliau berkata: “Sedikit sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dari satu majlis sebelum berdoa dengan doa-doa berikut: “Ya Allah, berikanlah kami bagian dari sifat takut kepada-Mu yang dapat menghalangi kami dari perbuatan-perbuatan dosa kepada-Mu, dari ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan kami ke surga-Mu, dari keyakinan yang akan meringakan musibah-musibah dunia pada kami. Tolonglah kami menghadapi mereka yang memuhusi kami. Janganlah Engkai jadikan musibah kami berkenaan dengan agama kami. Janganlah Engkau jadikan dunia sebagai keinginan terbesar kami, dan puncak pengetahuan kami. Dan janganlah Engkau jadikan penguasa kepada kami orang yang tidak mengasihi kami.” (HR. al-Tirmidzi [3502] dan al-Nasa’i [10161]. Al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan.”).
WAHABI: “Lalu mengapa, yang berdoa hanya satu orang, sementara yang lain membaca amin.”
SUNNI: “Dalam hadits di atas, yang berdoa kan hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu setelah beliau wafat, diteruskan oleh Ibnu Umar radhiyallaahu ’anhuma. Berarti yang lain kemungkinan membaca amin.”
WAHABI: “Dalam hadits di atas, tidak ada keterangan membaca amin. Berarti membaca amin terhadap doa tersebut jelas bid’ah dholalah.”
SUNNI: “Membaca amin terhadap doa orang lain itu hukumnya sunnah juga. dan memiliki dasar yang sangat kuat dalam al-Qur’an dan hadits.”
WAHABI: “Owh, mana dalil al-Qur’an nya?”
SUNNI: “Dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala menceritakan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalaam:
قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا. (يونس : ٨٩).
“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus : 89).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalaam. Padahal yang berdoa sebenarnya Nabi Musa ‘alaihissalaam, sedangkan Nabi Harun ‘alaihissalaam hanya mengucapkan amin, sebagaimana diterangkan oleh para ulama ahli tafsir. Nabi Musa ‘alaihissalam yang berdoa dan Nabi Harun ‘alaihissalam yang mengucapkan amin, dalam ayat tersebut sama-sama dikatakan berdoa. Hal ini menunjukkan bahwa doa bersama dengan dimpimpin oleh seorang imam adalah ajaran al-Qur’an, bukan ajaran terlarang. (Bisa dilihat dalam Tafsir al-Hafizh Ibnu Katsir, 4/291).
WAHABI: “Selain dalil al-Qur’an, apakah ada dalil hadits?”
SUNNI: “Ya ada. Misalnya hadits berikut ini:
1) Hadits Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ‘anhu
عن قيس المدني أن رجلا جاء زيد بن ثابت فسأل عن شيء فقال له زيد : عليك بأبي هريرة فبينا أنا وأبو هريرة وفلان في المسجد ندعو ونذكر ربنا عز و جل إذ خرج إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم حتى جلس إلينا فسكتنا فقال : ” عودوا للذي كنتم فيه ” . فقال زيد : فدعوت أنا وصاحبي قبل أبي هريرة وجعل النبي صلى الله عليه و سلم يؤمن على دعائنا ثم دعا أبو هريرة فقال : اللهم إني سائلك بمثل ما سألك صاحباي وأسألك علما لا ينسى . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم آمين فقلنا يا رسول الله ونحن نسأل الله علما لا ينسى فقال سبقكما بها الدوسي رواه والنسائي في الكبرى والطبراني في الأوسط وصححه الحاكم
“Dari Qais al-Madani, bahwa seorang laki-laki mendatangi Zaid bin Tsabit, lalu menanyakan tentang suatu. Lalu Zaid berkata: “Kamu bertanya kepada Abu Hurairah saja. Karena ketika kami, Abu Hurairah dan si fulan di Masjid, kami berdoa dan berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar kepada kami, sehingga duduk bersama kami, lalu kami diam. Maka beliau bersabda: “Kembalilah pada apa yang kalian lakukan.” Zaid berkata: “Lalu aku dan temanku berdoa sebelum Abu Hurairah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca amin atas doa kami. Kemudian Abu Hurairah berdoa: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu seperti yang dimohonkan oleh kedua temanku. Dan aku memohon kepada-Mu ilmu pengetahuan yang tidak akan dilupakan.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Amin.” Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah, kami juga memohon ilmu pengetahuan yang tidak akan dilupakan.” Lalu beliau berkata: “Kalian telah didahului oleh laki-laki suku Daus (Abu Hurairah) itu”. (HR. al-Nasa’i dalam al-Kubra [5839], al-Thabarani dalam al-Ausath [1228]. Al-Hakim berkata dalam al-Mustadrak [6158]: “Sanadnya shahih, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya”.)
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca amin atas doa sahabatnya. Berarti mengamini doa orang lain, hukumnya sunnah berdasarkan hadits di atas.
2) hadits Habib bin Maslamah al-Fihri radhiyallahu ‘anhu
عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك وقال صحيح على شرط مسلم، وقال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد: رجاله رجال الصحيح غير ابن لهيعة وهو حسن الحديث.
“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri radhiyallahu ‘anhu –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [3536], dan al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/347. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid 10/170, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”
Hadits di atas, memberikan pelajaran kepada kita, agar sering berkumpul untuk melakukan doa bersama, sebagian berdoa, dan yang lainnya membaca amin, agar doa dikabulkan.
3) hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.
“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami [3039] dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).
Kelemahan hadits ini dapat dikuatkan dengan hadits sebelumnya dan ayat al-Qur’an di atas.
4) hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
عن أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : أُعْطِيتُ ثَلاَثَ خِصَالٍ : صَلاَةً فِي الصُّفُوفِ ، وَأُعْطِيتُ السَّلاَمَ وَهُوَ تَحِيَّةُ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَأُعْطِيتُ آمِينَ ، وَلَمْ يُعْطَهَا أَحَدٌ مِّمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، إِلاَّ أَنْ يَكُونَ الله أَعْطَاهَا هَارُونَ ، فَإِنَّ مُوسَى كَانَ يَدْعُو وَيُؤَمِّنُ هَارُونَ. رواه الحارث وابن مردويه وسنده ضعيف
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku dikaruniakan tiga perkara; shalat dalam shaf-shaf. Aku dikaruniakan salam, yaitu penghormatan penduduk surga. Dan aku dikaruniakan Amin, dan belum pernah seseorang sebelum kalian dikaruniakan Amin, kecuali Allah karuniakan kepada Harun. Karena sesungguhnya Musa yang selalu berdoa, dan Harun selalu membaca amin.” (HR al-Harits bin Abi Usamah dan Ibnu Marduyah. Sanad hadits ini dha’if. Lihat, al-Amir al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, 2/488).
Kelemahan hadits ini dapat diperkuat dengan hadits-hadits sebelumnya serta ayat al-Qur’an di atas. Hadits di atas mengisyaratkan pentingnya membaca amin bagi orang orang lain, sebagaimana bacaan amin Nabi Harun ‘alaihissalam atas doa Nabi Musa ‘alaihissalam.
5) hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
عن عائشة – رضي الله عنها – عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُوْدُ عَلىَ شَيْءٍ مَا حَسَدُوْكُمْ عَلىَ السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ أخرجه البخاري في الأدب المفرد وأحمد بمعناه ابن ماجة وقال البوصيري هذا إسناد صحيح، وإسحاق بن راهوية في مسنده قال الأمير الصنعاني قد صححه جماعة، وقال الحافظ ابن حجر صححه ابن خزيمة وأقره.
.
“Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang Yahudi tidak hasud kepada kalian melebihi hasud mereka pada ucapan salam dan amin.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad [988], Ahmad 6/134, Ibnu Majah [856], dan Ibnu Rahawaih dalam al-Musnad [1122]. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh al-Bushiri dan lain-lain. Lihat al-Amir al-Shan’ani, al-Tanwir Sayrh al-Jami’ al-Shaghir, 9/385).
Hadits di atas menganjurkan kita memperbanyak ucapan salam dan amin. Tentu saja ucapan salam kepada orang lain. Demikian pula memperbanyak ucapan amin, baik untuk doa kita sendiri, maupun doa orang lain. Hadits ini juga menjadi dalil, bahwa ajaran Syiah sangat dekat dengan Yahudi, karena sama-sama melarang membaca amin.
6) atsar Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
عن جامع بن شداد عن ذي قرابة له قال سمعت عمر بن الخطاب يقول ثلاث كلمات إذا قلتها فهيمنوا عليها اللهم إني ضعيف فقوني اللهم إني غليظ فليني اللهم إني بخيل فسخني. رواه ابن سعد في الطبقات
“Dari Jami’ bin Syaddad, dari seorang kerabatnya, berkata: “Aku mendengar Umar bin al-Khaththab berkata: “Tiga kalimat, apabila aku mengatakannya, maka bacakanlah amin semuanya: “Ya Allah, sesungguhnya aku orang yang lemah, maka kuatkanlah aku. Ya Allah, sesungguhnya aku orang yang kasar, lembutkanlah aku. Ya Allah, sesungguhnya aku seorang yang pelit, maka pemurahkanlah aku.” (HR. Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat 3/275).
7) atsar al-Nu’man bin Muqarrin radhiyallahu ‘anhu. Dalam peperangan Persia, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, Panglima al-Nu’man bin Muqarrin berdoa, dan meminta anggota pasukannya membaca amin:
وكان النعمان بن مقرن رجلا لينا فقال … اللهم إني اسألك أن تقر عيني اليوم بفتح يكون فيه عز الإسلام وذل يذل به الكفار ثم اقبضني إليك بعد ذلك على الشهادة أمنوا يرحمكم الله فأمنا وبكينا. رواه الطبري في تاريخه. وفي رواية قال النعمان: وَإِنِّي دَاعِيَ اللهَ بِدَعْوَةٍ ، فَأَقْسَمْتُ عَلَى كُلِّ امْرِئٍ مِنْكُمْ لَمَّا أَمَّنَ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : اللهُمَّ اُرْزُقَ النُّعْمَانَ الْيَوْمَ الشَّهَادَةَ فِي نَصْرٍ وَفَتْحٍ عَلَيْهِمْ ، قَالَ : فَأَمَّنَ الْقَوْمُ. رواه ابن أبي شيبة بسند صحيح.
“Al-Nu’man bin Muqarrin seorang laki-laki yang lembut. Lalu beliau berkata: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, agar Engkau sejukkan mataku pada hari ini dengan penaklukan yang menjadi kemuliaan Islam dan kehinaan orang-orang kafir. Kemudian ambillah aku kepada-Mu sesudahnya dengan mati sebagai syahid. Bacakanlah amin, semoga Allah mengasihi kalian.” Maka kami membaca amin atas doa beliau dan kami menangis.” (HR. al-Thabari, Taikh al-Umam wa al-Muluk, 4/235). Dalam riwayat lain, al-Nu’man berkata: “Sesungguhnya aku akan berdoa kepada Allah dengan satu permohonan, aku bersumpah agar setiap orang dari kalian membacakan amin untuk doa tersebut. Lalu al-Nu’man berkata: “Ya Allah, berilah al-Nu’man rizki meninggal sebagai syahid dalam kemenangan dan penaklukan atas mereka.” Perawi berkata: “Lalu kaum membaca amin.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf [34485]). Sanad atsar tersebut shahih.
Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa doa bersama, dengan dipimpin oleh seorang imam, dan dibacakan amin oleh para jamaah, adalah tradisi Islami yang memiliki dasar yang kuat dari al-Qur’an, hadits dan tradisi para sahabat. Wallahu a’lam.
(Ust. Muh. Idrus Ramli)

Kecerobahan Wahabi yang Membid’ahkan Do’a rutin setelah Shalat

BUKTI KEBOHONGAN WAHABI
MEMBID’AHKAN DOA RUTIN SETELAH SHALAT MAKTUBAH
Setelah kami menulis bantaham ilmiah terhadap Wahabi, tentang dzikir bersama dan Tahlilan, ada seorang Wahabi menulis komentar, dengan mengutip dari fatwa Ibnu Taimiyah, fatwa Imam Ahmad bin Hanbal dan pernyataan al-Syathibi dalam al-I’tisham. Hanya saja, si Wahabi tersebut hanya mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah yang disukainya, dan membuang pernyataan Ibnu Taimiyah yang tidak sesuai dengan selera Wahabi masa sekarang. Berikut ulasannya:
IBNU TAIMIYAH berkata: “
وأما دعاء الإمام والمأمومين بعد الصلاة جميعا رافعين أصواتهم أو غير رافعين فهذا ليس من سنة الصلاة الراتبة لم يكن يفعله النبي صلى الله عليه وسلم وقد استحسنه طائفة من العلماء من أصحاب الشافعي وأحمد في وقت صلاة الفجر وصلاة العصر لأنه لا صلاة بعدها.
Adapun do’a imam bersama makmum setelah shalat lima waktu secara berjama’ah dengan mengeraskan suara atau boleh jadi suaranya tidak dikeraskan, maka ini bukanlah sunnahnya shalat yang dirutinkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali melakukan seperti itu. Sebagian ulama dari kalangan Syafi’iyah dan Hanbali memang menganjurkan yang demikian, namun itu hanya di waktu shalat Shubuh dan Ashar karena setelah itu tidak ada lagi shalat. [Al Majmu’atul ‘Aliyyah min Kutub wa Rosail wa Fatawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Dar Ibnil Jauzi, hal. 134-135]
kesalahan fatwa ibnu taimiyah
TANGGAPAN: Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas menafikan beberapa hal:
a) Berdoa setelah shalat maktubah, bukan termasuk sunnah rutin dan tidak perlah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
b) Menolak membaca doa tersebut secara bersama-sama
Tentu fatwa Ibnu Taimiyah di atas, sangat tertolak dengan hadits-hadits shahih, antara lain:
1) Hadits Sayyidina Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu
عن معاذ بن جبل ان النبي صلى الله عليه و سلم قال له يا معاذ اني والله لاحبك فلا تدع دبر كل صلاة ان تقول اَللّهمَّ اَعِنِّيْ عَلىَ ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ أَخْرَجَهُ أَبُو داود والنسائي وصححه ابن حبان والحاكم
“Dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Wahai Mu’adz, demi Allah aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah kamu tinggalkan setiap selesai shalat untuk berkata: “Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud 2/115, al-Nasa’i 3/53 dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban 5/364-366 dan al-Hakim 1/273 dan 3/273).
Dalam hadits di atas jelas sekali, perintah membaca doa tersebut setiap selesai shalat maktubah secara rutin.
2) Hadits Sayyidina Abu Bakrah radhiyallaahu ‘anhu
عن مسلم بن أبي بكرة – رحمه الله – : قال : «كانَ أبي يقولُ في دُبُرِ الصلاةِ : اللهم إني أَعوذُ بك من الكُفْرِ والفَقْرِ وعذابِ القَبرِ ، فكنتُ أقُولُهنَّ ، فقال : أي بُنيَّ، عَمَّنْ أَخَذْتَ هذا ؟ قُلْتُ : عنك ،قال:إنَّ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- كانَ يقولُهُنَّ في دُبُرِ الصلاةِ فَالزَمهنَّ يا بُنيَّ». أخرجه احمد والترمذي والنسائي وصححه الحاكم
Dari Muslim bin Abi Bakrah rahimahullaah, berkata: “Ayahku selalu berkata setelah selesai shalat: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefakiran dan azab kubur.” Maka akupun selalu membacanya. Lalu ayah berkata: “Wahai anakku, dari siapa bacaanmu kamu peroleh?” Aku menjawab: “Darimu.” Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengucapkannya setelah selesai shalat. Maka rutinkanlah wahai anakku.” (HR. Ahmad 5/39, al-Tirmidzi, al-Nasa’i 3/73, dan dishahihkan oleh al-Hakim 1/252-253).
3) Hadits Sayyidina Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu
وَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ – رضي الله عنه – قَالَ : – إِنَّ رَسُولَ اَللهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَتَعَوَّذُ بِهِنَّ دُبُرَ اَلصَّلاةِ : ” اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ اَلْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ اَلْجُبْنِ , وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ اَلْعُمُرِ , وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ اَلدُّنْيَا , وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ اَلْقَبْرِ – رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
“Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu memohon perlindungan dari beberapa perkara setelah selesai shalat: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur.” (HR al-Bukhari 11/174 dan 178).
4) Hadits Sayyidina Zaid bin Arqam radhiyallaahu ‘anhu
عن زيد بن أرقم قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يدعو في دبر الصلاة يقول اللهم ربنا ورب كل شيء انا شهيد أنك الرب وحدك لا شريك لك.. الحديث أخرجه أحمد وأبو داود والنسائي
Zaid bin Arqam berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa setelah selesai shalat, seraya berkata: “Ya Allah, Tuhan kami dan Tuhan segala-galanya. Aku bersaksi bahwa Engkau-lah Tuhan semata, tidak ada sekutu bagi-Mu….” (HR. Ahmad, Abu Dawud 2/111, dan al-Nasa’i).
5) Hadits Sayyidina Shuhaib radhiyallaahu ‘anhu
عن صهيب أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان ينصرف بهذا الدعاء من صلاته: اللهم أصلح لي ديني الذي جعلته عصمة أمري وأصلح لي دنياي الذي جعلت فيها معاشي اللهم إني أعوذ برضاك من سخطك وأعوذ بعفوك من نقمتك وأعوذ بك منك لا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت ولا ينفع ذا الجد منك جده أخرجه النسائي وصححه ابن حبان
“Dari Shuhaib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai dengan doa berikut ini dari shalatnya: “Ya Allah, perbaikilah agamaku bagiku yang merupakan pelindung urusanku. Perbaikilah duniaku yang Engkau jadikan tempat kehidupanku. Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu. Aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung dari kepada-Mu dari-Mu. Tidak ada yang dapat menolak apa yang Engkau berikan. Tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau cegah. Tidak akan bermanfaat kesungguhan seseorang pada dirinya dari-Mu.” (HR al-Nasa’i 3/73 dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban 5/373).
Hadits-hadits di atas menjelaskan tentang doa-doa yang dibaca dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap selesai shalat lima waktu. Demikian yang kami kutip dari al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Sementara itu, kesunnahan doa rutin setiap selesai shalat, juga diterangkan dalam hadits-hadits lain, misalnya:
6) Hadits Sayyidina Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu
عن أبي أمامة قال قلت : يا رسول الله أي الدعاء أسمع قال جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات أخرجه الترمذي والنسائي
“Abu Umamah berkata: “Aku berkata: “Wahai Rasulullah, di mana doa itu paling cepat dikabulkan?” Beliau menjawab: “Doa pada waktu tengah malam, dan setelah selesai menunaikan shalat maktubah.” (HR. al-Tirmidzi 5/188, dan al-Nasa’i).
Hadits di atas memberikan kesimpulan, anjuran berdoa pada waktu tengah malam dan setiap selesai shalat lima waktu. Doa yang dibaca bebas.
7) Hadits Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhah
عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا سَلَّمَ مِنَ الصَّلاَةِ قَالَ « اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّى أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ». رواه أبو داود
Ali bin Abi Thalib berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengucapkan salam dari shalat, maka berdoa: “Ya Allah ampunilah bagiku, apa yang telah aku kerjakan, apa yang akan aku kerjakan, apa yang aku sembunyikan, apa yang aku lakukan terang-terangan, apa yang aku lakukan berlebih-lebihan, dan apa yang Engkau lebih tahu dariku. Engkau lah yang Maha Mendahulukan dan Maha Mengakhirkan. Tidak ada tuhan melainkan Engkau.” (HR. Abu Dawud 2/111).
Hadits-hadits di atas, sangat tegas memberikan penjelasan bahwa setiap selesai shalat maktubah, terdapat doa-doa ratibah (yang dianjurkan dibaca secara rutin). Umat Islam tidap perlu terpengaruh dengan fatwa Ibnu Taimiyah yang sangat mudah menafikan hadits-hadits shahih dan sangat popular di kalangan para ulama dan penuntut ilmu. Memang Ibnu Taimiyah, dan diikuti oleh kaum Wahabi dewasa ini, sering menafikan hadits-hadits shahih yang telah diamalkan secara rutin oleh umat Islam. Lalu dengan ulah tersebut, Wahabi membid’ahkan umat Islam yang senang berdzikir setiap selesai shalat. Mereka malas berdzikir, malah membid’ahkan orang yang berdzikir dan mengamalkan sunnah.
Sedangkan hukum membaca doa secara bersama-sama dengan mengeraskan suara, atau dipimpin oleh seorang imam, yang sepertinya dinafikan dalam fatwa Ibnu Taimiyah di atas, akan kita bahas selanjutnya. Insya Allah.
(Ust. Muh. Idrus Ramli)

WWW.IDRUSRAMLI.COM